BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rasulullah Saw
bersabda:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ
عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ
عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ
يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى
رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ
أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ,
وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ :
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ,
وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ
وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ
عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا,
قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ
الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ,
فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ
: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ
يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِم [1]
Umar bin
Khathab ra. berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah
SAW. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat
putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas
perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera
duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan
meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai,
Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam. ”Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah
Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan,
dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,”
lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula
yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang
Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikat-Nya;
kitab-kitab-Nya; para Rasul-Nya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah
yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi SAW. menjawab,”Hendaklah engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan
kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih
tahu daripada yang bertanya.”Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku
tentang tanda-tandanya!”Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah
melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa
memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam
mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi. ”Kemudian lelaki tersebut
segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar!
Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui, ” Beliau bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian
tentang agama kalian”. (H.R Muslim
No:8 ).
Hadits ini
secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 8), dan diriwayatkan juga
oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at- Tirmidzi (no.2610),
an-Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), al Bukhari dalam bab suila jibril
(no: 50) Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar
bin Khaththab.[2]
Hadits ini
mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al
Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Bari (I/115-116), yaitu [3]
- Abu Dzar al
Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i);
- Ibnu ‘Umar
(HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim);
- Anas (HR
Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad);
- Jarir bin
‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah);
- Ibnu ‘Abbas
dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan).
Hadis ini
adalah hadits yang terkenal dengan sebutan Hadits Jibril. Hadis jibril ini berisi tentang Triologi Islam
yaitu
a.
Iman
(enam rukun iman); yaitu
1.
Iman
kepada Allah SWT;
2.
Iman
kepada Malaikat ;
3.
Iman
kepada Kitab-kitab;
4.
Iman
kepada Rasaul-rasul;
5.
Iman
kepada Hari Akhir; dan
6.
Iman
kepada Qada dan Qadar (Taqdir).
b.
Islam
(lima rukun islam); yaitu
1.
Mengucapkan
dua kalimat Syahadat;
2.
Mendirikan
Shalat;
3.
Mengeluarkan
Zakat;
4.
Melaksanakan Puasa Ramadhan; dan
5.
Melaksanakan
Ibadah Haji.
c.
Ihsan;
dan
d.
Beberapa
tanda datangnya kiamat.
Ada pun yang
akan penulis uraikan dalam tulisan ini ialah tentang Ihsan yang erat kaitannya
dengan ikhlas (keikhlasan).
B.
Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, penulis akan menentukan beberapa rumusan
permasalahan sebagi acuan dasar dalam membuat tulisan ini. Adapun
rumusan-rumusan masalah tersebut :
1.
Apa
yang di maksud dengan Ihsan dan apa dasar hukumnya?
2.
Apa
yang di maksud dengan Ikhlas dan apa dasar hukumnya?
3.
Bagai
mana hubungan natara Iman, Islam, Ihsan dan Ikhlas dalam kehidupan manusia sehari-hari?
C.
Tujuan
Untuk menguraikan rumusan yang telah penulis kemukakan di atas.
Penulis akan mengajukan beberapa tujuan dasar yang ingin penulis capai dalam
membuat tulisan ini.
Adapu tujuan-tujuan tersebut
:
1.
Menjelaskan
pengertian Ihsan dan dasar hukumnya;
2.
Menjelaskan
pengertian Ikhlas dan dasar hukumnya; dan
3.
Mengemukakan
bagai mana hubungan antara Iman, Islam, Ihsan dan Ikhlas dalam kehidupan
manusia sehari-hari.
BAB II
PEMBAHSAN
A.
Pengertian Ihsan dan Dasar Hukumnya
a.
Pengertian
Pengertian Ihsan secara etimologi dalam buku Triologi
Islam ( Islam, Iman dan ihsan) terjemahan dari buku The Vision Of Islam karya Saciko
Murata dan William C. Chittik ialah: Ihsan berasal dari kata husna, yang menunjuk pada kualitas sesuatu yang baik
dan indah. Dalam kamus dinyatakan bahwa kata husna, dalam pengertian yang umum, bermkna
setiap kualitas yang positif (kebajikan, kejujuran, indah, ramah, menyenangkan,
selaras, serasi dll.). lawan kata husna adalah qabih (sifat yang
menjijikkan) dan su’u ( buruk
atau jahat).
Banyak kamus
yang tidak mempertimbangkan kata husn, yang menjadi sinonom dari kata khair. Husna
adalah kebikan yang tidak dapat dilepaskan dari keindahan dan sifat-aifat
yang memikat, sementara itu kata khair merupakan suatu kebaikan yang
memberikan kegunaann konkret, sekalipun sesuatu tersebut tidak indah dan tidak
bersifat memikat’ atau ia semata berati “lebih baik” dari pada alternatif
lain-nya. Kita sering meliha kata khair dalam bentuk perbandingan kata
sifat.
Al-Qur’an
menggunakan kata hasanat, dari akar kata yang sama dengan husna,
pada makna suatu perbuatan atau sesuatu hal yang bersifat biak atau indah.
Lawan dari kata sayiat, suatu perbuatan atau suatu hal yang buruk.
Sebuah hasana dapat dilakukan oleh manusia dan Tuhan, sedangkan sayiat
hanya dilakukan oleh manusia.[4]
Sedangkan secara bahasa, pengertian Ihsan
dapat kita ketahui langsung dari hadits jibril diatas yaitu
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ
فَإِنَّهُ يَرَاكَ[5]
“Hendaklah
kamu beribahdah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya, jika engkau tidak
melihatNya, maka sesungguhnya Ia melihat kamu”.
Ada juga yang
menyatakan bahwa ihsan itu ialah: “Melakukan ibadah dengan khusyuk, ikhlas dan
yakin bahawa Allah sentiasa mengawasi apa yang dilakukannya”.
Ihsan dalam
berubadah terbagi menjadi dua:
1.
Ihsan dalam ibadah kepada Allah; dan
2.
Ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk.
Ihsan dalam
beribadah kepada Allah terbagi lagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib dan
ihsan yang mustahab (sunah). Sebagaimana ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk
juga terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib, dan ihsan yang mustahab
(sunah).
b.
Dasar hukum
Seperti yang
kita ketahui bahwa semua ajaran ialam memiliki dasar hukum yang menjadi dalil
penguat ajaran tesebut. Begitu pula dengan ihsan. Adapun beberapa dasar hukum
ihsan ialah:
1.
Surah
al-Kahfi: 30
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ
أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“Sesunggunya
mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.”( QS.
al-Khfi: 30).
2.
Surat
al-Qhasas: 84
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا وَمَنْ جَاءَ
بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik
daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah
mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka
kerjakan” ()QS. Al-Qashas: 84).
3.
Surat
az-Zumar: 34
لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَاءُ
الْمُحْسِنِينَ
“Mereka
memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah
balasan orang-orang yang berbuat baik”. (QS. az-Zumar: 34).
4.
Surah
an-nisa: 125
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ
مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”.(QS.
An-Nisa: 125).
5.
Surah al-A’raf: 56
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.(QS.
Al-A’raf: 56).
6.
Hadits
riwayat muslim
عن شداد بن أوس قال: رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إن الله كتب الإحسان
على كل شيء[6] ….
“Dari
Syaddad Ibn Aus berkata: Rasululullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah
memerintahkan untuk berlaku Ihsan terhadap setiap sesuatu”.
7.
Hadis
jibril yang telah disebutkan di atas.
Itulah beberapa
sumber hukum yang menjadi dasar dari ihsan. Baik dari al-Qur’an maupun
as-Sunah. Dan masih banyak ayat dan hadist yang lainnya.
B.
Pengertian Ikhlas dan Dasar Hukumnya
a.
Pengertian
Segala sesuatu
dapat bercampur dengan yang lainnya. Ketika sesuatu itu dapat bersih dan
terbebas dari segala bentuk campuran yang ada, maka sesuatu itu dinamakan
Ikhlas. Oleh karena itu, perbuatan yang bersih dan terbebas dari campuran yang
dapat merusaknya dinamakan ikhlas. Tentang makna kata ikhlas tersirat dalam
firman Allah SWT.
...مِنْ بَيْنِ
فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا...
“...Berupa susu yang bersih (di dalam
perutnya) antara kotoran dan darah...”. ( an-Nakhl: 66).
Di sini, susu
yang murni (khalis) adalah susu yang tidak bercampur dengan kotoran dan darah,
sehingga suatu perbuatan bisa dikategorikan ikhlas jika di dalamnya tidak
bercampur dengan suatu apa pun. Oleh karena itu perbuatan yang bersih dari
riya’ dan hanya semata-mata karena Allah SWT, maka perbuatan tersebut
dikategorikan sebagai perbuatan yang ikhlas.[7]
Itulah pengertian
ikhlas secara bahasa. Ada pun pengertian ikhlas menurut istilah yang
dikemukakan oleh beberapa tokoh ialah
1.
Imam
as-Susi[8]
berkata, ”Ikhlas adalah perbuatan menghilangkan persepsi keikhlasan itu
sendiri. Sebab orang yang dalam keikhlasannya ternyata melihat bahwa dirinya
ikhlas, maka keikhlasanyan itu membutuhkan keikhlasan yang lain”. Maksudnya
adalah agar kita membersihkan perbuatan kita dari sifat ujub ( kagum). Sebab memperhatikan suatu
perbuatan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah masuk dalam kategori
ikhlas adalah bersikap ujub, dan ini adalah satu penyakit ikhlas.
Padahal suatu perbuatan dapat dinamakan ikhlas jika perbuatan tersebut bersih
dari segala macam penyakit dan noda.
2.
Sahl
[9]
pernah di tanya, “Hal apakah yang paling sulit dicapai oleh jiwa?”, ia
menjawab,”Keikhlasan, karena keikhlasan tidak ada tempatnya dalam jiwa. Ia juga
berkata, ”hamba yang ikhlas adalah hamba yang menjadikan segala perbuatan dan
gerakannya hanya karena Allah SWT semata.
3.
Al-junaid
berkata,”ikhlas adalah membersihkan semua perbuatan dari segala kotoran”.
4.
Al-Fudhail
berkata, “ Meninggalkan perbuatan karena orang lain adalah riya’. Sedangkan
perbuatan karena orang lain adalah syirik. Jadi keikhlasan adalah jika dirimu
bersih dari kedua hal itu”.
5.
Ulama
lain mengemukakan, “Ikhlas adalah selalu konsisten dalam berniat karena Allah
SWT dan melupakan semua acuan kepada selain-Nya.[10]
Dari pengertian
yang dikemukakan oleh beberapa totoh tadi dapat kita simpulkan bahwa ikhlas
ialah “Mengerjakan perbuatan dengan diniatkan semata-mata untuk mencari
keridhaan Allah SWT”.
b.
Dasar hukum
Di bawah ini
beberapa dalil-dalil yang menjadi dasar ikhlas ialah
1.
Surah
al-Bayyinah: 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5).
2.
Surah
az-Zumar: 3
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ...
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...”. (QS. Az-Zumar: 3).
3.
Hadits
Imam hakim
اَخلِص دِينَكَ يَكفِكَ العَمل القَلِيلاَ[11]
“Ikhlaskan
agamamu, Engkau cukup dengan amal yang sedikit”.
4. Hadits Muslim
اِنّ الله لا يَنظر الي اَجسمكم ولا الي
صوركم ولكن ينظر الي قلوبكم واعمالكم[12]
“Allah
tidak melihat kepada tubuh kalian, dan tidak kepada bentuk kalian. Melainkan
Allah hanya melihat kepada hati dan perbuatan kalian”. ( H.R Muslim) .
5. Hadits Ibnu majah
من فارقا الدنيا علي الاخلص لله وحده لاشريك
له واِقام الصلا ةِ وا تي الزكاةِ فارقاها والله عنه راضٍ[13]
“ Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan ikhlas kepada Allah la
Syarikalahu, dalam keadaan telah mengenakan shalat dan menunaikan zakat, maka
ia meninggal dunia dalam keadaan Allah ridha kepadanya”. (H.R Ibn Majah).
C.
Hubungan Antara Iman, Islam, Ihsan dan Ikhlas
Jika kita lihat
dalam Hadits Jibril di atas, kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa Iman
berdedikasi pada dimensi pemahaman. Islam berdedikasi kepada dimensi perbuatan
(‘amal) dan Ihsan berdedikasi kepada dimensi kehendak (niat). Mengapa manusia melakuakan
apa yang mereka kerjakan? Islam memberitahukan kepada kita tentang apa yang
harus kita kerjakan, sedangkan iman memberikan manusia pemahaman tentang apa
yang harus dikerjakan. Tetapi tidak satu pun dari keduanya (iman dan islam)
secara khusus menekankan diri dengan permasalahan ”bagimanakah dapat
menghadirkan motivasi dan kualitas psikologis seorang menjadi harmonis dengan
perbuatan dan pemahaman manusia”.
Inilah pusat dan sasaran perhatian
pembahasan ihsan dan berkaitan dengan sifat ideal manusia.[14]
Pernyataan di
atas sesuai dengan firman Allah dal surah al-Kahf: 30
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ
أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah
Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya)
dengan yang baik”. (QS. al-kahfi: 30)
Ketika ihsan
dikaitkan dengan dimensi niat. Maka hal ini erat kaitannya dengan keikhlasan.
Semua amal yang kita kerjakan diterima atau tidak oleh Allah tergantung kepada
nianya. Apabila niatnya ikhlas, maka amal yang kita kerjakan itu akan diterima
oleh Allah SWT, begitu pula sebaliknya. hal ini sesuai dengan hadit Nabi yaitu:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه ، قال : سمعت
رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكلامرئ ما نوى .
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت
هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه) . رواه
إمام المحد ثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل
بن ابراهيم بن المغيره بن برد زبه البخاري الجعفي،[رقم:1] وابو الحسين
مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري([15]
Dari Amirul
Mukminin, Abu hafsh Umar bin Khatab ra. Ia berkata: aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya. Maka siapa
saja yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah karena Allah,
dan siapa saja yang berhijrah karena dunia maka ia akan mendapatkannya atau
perempuan maka ia akan menikahinya. Maka hijrahnya itu tergantung kepada apa
yang ia kehendaki”. ( HR. Bukhari
dan Muslim).
Terlepas dari
hadits di atas. Untuk mendapatkan derajat ihsan maka kita harus menempuh
berberapa cara. Ada orang berpendapat bahwa
zikirlah alternatifnya, yaitu dengan cara memperbanyak zikir. Dalam kitab
al-Hikam Ibn ‘Atha Allah al-Askandari berkata:
“Resapilah
zikir agar engkau merasakan nikmat bersama-Nya tanpa akhir. Bila sebab
keyakinanmu kepada-Nya membuatmu senantiasa berzikir kepada-Nya, itu tanda
bahwa cahaya iman telah menetap dalam hatimu. Jika yang lahir pada dirimu
adalah kehendak berzikir, lalu engkau temukan kenikmatan berserah kepada-Nya,
engkau telah dihampiri cahaya islam. Ada pun orang yang telah dianugerahi
cahaya ihsan, menetap dalam dirinya cahaya iman dan islam sekaligus. Zikir dan
kesadaran spiritual menyala secara bersamaan.
Orang-orang yang seperti ini telah meraih anugerah kearifan-Nya. Dalam
diri mereka, zikir adalah kesdaran hidup. Mereka senantiasa terikat kepada-Nya
hingga hidup mereka diliputi cahaya-Nya. Tetapi di samping yang disebutkan di
atas, ada orang-orang yang betah dalam kegelapan. Mereka adalah orang yang
mengingkari kebenaran-Nya dan keadaan mereka sendiri sekaligus. Mereka tanpa
cahaya, juga tanpa kesadaran. Bila hati ingkar, bagaimana kesadaran akan
muncul? Berislamlah dengan iman, berimanlah dengan islam, maka engkau akan
mendapatkan (berada dalam) ihsan.[16]
Bila kita renungkan
perkataan iman Ibnu Atha Allah. Maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa
hubungan antara iman, islam dan ihsan itu sangat erat. Untuk mempererat
hubungan ketiganya kita harus melaksanakan zikir dengan ikhlas.
Zikir itu tidak
mesti berwujud ucapan, tapi juga bisa berwujud pekerjaan (zikir amali), seperti
infak. Sebagian orang berpendapat bahwa berinfak di jalan Allah lebih baik dari
zikir yang berwujud ucapan (zikir lisan) yang disertai dengan kesungguhan hati
karena kebanyakan orang yang di dunia ini gila dengan harta. Jika orang bisa
menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan tulus maka dia telah lulus dari
ujian cinta dunia. Allah SWT berfirman dalam surat al-Munafiqun: 9-10
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ (9) وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا
رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى
أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ(10)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.(9) Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum kematian datang
kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku,
sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku
dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.”(QS.
Al-Munafiqun: 9-10).
Ada juga yang
menempuhnya denga cara berbuat baik kepada semua makhluk. mulai dari manusia,
baik muslim maupun non-Muslim, hewan, tumbuhan dan makhluk ciftaan Allah
lainya. Perbuatan baik tersebut disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah
SWT.
Sedangkan untuk mendapatkan
keikhlasan kita harus menempuh dua cara:[17]
1.
Menghadirkan niat dalam setiap perbuatan karena
pebuatan tergantung dengan niat.
Niat
merupakan landasan utama dari ikhlas karena dengan niatlah keikhlasan seseorang
bisa ditentukan. Jika niat dia melakukan perbuatan karena Allah maka itu
dinamakan ikhlas, tapi apabila niatnya bukan karena Allah maka itu tidak bisa
dinamakan ikhlas. Rasulullah SAW bersabda:
إنما الأعمال بالنيات, و إنما لكل امرئ مل نوى...
“Setiap perbuatan itu tergantung dengan niatnya dan
setipa orang mempunyai niatnya masing-masing”.
Hadits di
atas menjelaskan bahwa perbuatan seseorang tergantung dengan niatnya. Niat itu
tidak mesti niat yang baik, tapi ada juga niat yang buruk. Penentuan baik dan
buruknya niat adalah faktor pendorong, jika faktor pendorongnya adalah ridha
Allah maka itu bisa disebut niat yang baik dan jika faktor pendorongnya adalah
ridha manusia maka itu bisa disebut niat yang buruk.
Pahala dari
suatu perbuatan juga tergantung pada niatnya. Perbuatan yang asalnya adalah
mubah bisa jadi mendapatkan pahala yang besar karena sebuah niat, begitu juga
sebaliknya dia mendapatkan dosa yang besar karena sebuah niat. Sebagai contohnya adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Ahmad:
الخيل ثلاثة: فرس يرتبط فى سبيل الله, فثمنه أجر و ركوبه أجر و
عاريته أجر. و فرس يغالق عليه الرجل و يراهن (فرس القمر), فثمنه وزر و ركوبه وزر.
و فرس للبطنة, فهسى أن يكون سددا من الفقر إن شاء الله- رواه أحمد.
Kuda itu
ada tiga macam: kuda yang dipersiapkan seseorang di
jalan Allah. Harganya merupakan pahala, menaikinya merupakan pahala, dan dan
meminjamkannya juga merupakan pahala. Kuda yang dibuat taruhan dan dijadikan
judi. Harganya merupakan dosa, dan menaikinya juga merupakan dosa. Dan kuda
untuk mata pencaharian. Boleh jadi ia bisa menutup kebutuhan dari kemiskinan
atas kehendak Allah. (H.
R Ahmad).
Jika kita mencermati hadits di atas, kita tahu bahwa membeli atau
memilki kuda adalah hal yang bersifat mubah, tapi jika pemiliknya berniat ingin
menggunakan kuda tersebut di jalan kebaikan seperti jihad di jalan Allah atau
menjadikan sebagai sarana untuk mencari rezki Allah maka dia akan mendapatkan
pahala yang besar. Begitu juga sebaliknya, jika pemilik kuda tersebut
memanfaatkannya untuk hal-hal yang maksiat, seperti menjadikannya sebagai
taruhan maka dia akan mendapatkan dosa. Niat juga tidak bisa mengubah yang halal menjadi yang
haram, misalnya ada seorang rentenir ingin berinfak ke sebuah yayasan panti
asuhan. Seberapapun besarnya harta yang dia infakkan dan setulus apaun niatnya
tetap saja infaknya tersebut tidak diterima Allah karena harta yang dia infakkan
merupakan harta yang haram.
2.
Melepaskan segala perbuatan yang kita lakukan dari unsur duniawi sehingga perbuatan itu murni karena
Allah.
Ikhlas
hanya bisa didapatkan jika kita mempunyai niat yang tulus, lillahi ta’ala. Seseorang
akan mendapatkan hasil dari keikhlasannya. Jika seseorang melakukan suatu
perbuatan karena mengharapkan ridha Allah, maka ridha Allah yang didapatkan dan jika yang
diharapkan adalah ridha manusia, maka ridha manusia lah yang dia dapatkan.
Segala
perbuatan yang kita lakukan harus didasrakan ikhlas karena Allah. karena salah satu syarat diterimanya amal adalah niat yang ikhlas, niat yang murni karena
Allah. Allah SWT berfirmandalam surat al-An’an: 162-163:
قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".(QS.al-‘an’am
: 162-163).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ihsan adalah
melakukan perbuatan baik disertai niat yang ikhlsa kerena Allah SWT. ihsan akan
kita peroleh bila kita telah melaksanakan iman dan islam. Ihsan juga dapat
dicapai dengan berzikir kepada Allah. Baik itu zikir lisan maupun perbuatan.
Keiklasan
adalah syarat yang mutlak harus dimiliki oleh umat islam. Semua amal yang
dilakukan oleh manusia memiliki nilai di sisi Allah bila amal tersebut disertai
dengan keikhlasan dalam niatnya.
Hubungan iman, islam, ihsan dan
ikhlas sangat erat. Hubungan keempatnya itu tidak bisa dipisahkan karena saling
melengkapi. Iman berdedikasi kepada pemahaman, islam berdedikasi kepada
pekerjaan, ihsan berdedikasi kepada niat sedangkan ikhlas berdedikasi kepada
pemurnian niat karena Allah dalam mengerjakan apa yang ingin dikerjakan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agma RI. Al-Quran
dan Terjemahnya. Bandung: PT Syaamil Cipta Media. 2005.
Al-Qardhawi, Yusuf, Niat dan Ikhlas, terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 1995.
Athailah, Ibnu. Al-Hikam Untian Hikmah Ibnu Athaillah. terj. Fauzi Faisal Bahreisy, Jakarta: Zaman. 2009.
Al-Ghazali, Muhammad. Khuluqul
muslim( Akhlaq Seorang Muslim). terj. Abu Laila, Muhammad Tohir. Bandung:
PT Alma’arif Bandung. 1995.
Ghazali, Imam. Ihya Ulumuddin. terj. Fudhailurrahman, Aida Humaira,
Jatiwangi: Sahara. 2007
Murata, Saciko dan William C. Chittik. Triologi Islam
(Islam,Iman dan ihsan). terj.
Ghufron. A. Mas’adi. Jakarta: Pt Raja Grafindo. 1997.
Al ‘Asqalani. al Hafizh Ibnu Hajar. Fathul Bar. CD mausuah Global Islamic Software.
Muslim., Imam. al-Jami’ush Shahih. CD al-Maktabah
al-Syamilah, Global Islamic Software.
Nawawi, Imam. Arbain
Nawawiyah. CD al-Maktabah
al-Syamilah. Global Islamic Software.
[1] Imam Muslim, al-Jami’ush Shahih, CD
al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software.
[2] Takhrij,
CD mausuah Islamic Software..
[3] al
Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Fathul
Bari, CD mausuah Islamic Software.
[4]
Saciko Murata, William C. Chittik, Triologi Islam (Islam,Iman dan ihsan), terj.
Ghufron. A. Mas’adi, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 1997), hlm.294-295.
[5] Imam
Muslim, al-Jami’ush Shahih,
[6] Imam
Muslim, al-Jami’ush Shahih,.
[7] Imam
Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Fudhailurrahman, Aida Humaira,
(Jatiwangi: Sahara, 2007). Hlm. 509.
[8]
Ia adalah Shaleh bin Ziyad as-Susi ar-Raqi, Abu Syu’aib, seorang ahli qira’at
yang dahbit, tsiqah.
[9] Ia
adalah Sahl bin Abdullah bin Yunus, Abu Muhammad at-Tustari, seorang ahli sufi
dan zuhud.
[10]
Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Fudhailurrahman, Aida Humaira,
(Jatiwangi: Sahara, 2007). Hlm. 509-510.
[11]
Lihat Muhammad al-Ghazali, Khuluqul muslim( Akhlaq Seorang Muslim), terj.
Abu Laila, Muhammad Tohir, ( Bandung: PT Alma’arif Bandung, 1995), hlm.131.
[12] Imam
muslim, Jamius Shahih jilid 8 ,
[13] Muhammad
al-Ghazali, Khuluqul muslim( Akhlaq Seorang Muslim),hlm. 133
[14] Saciko
Murata, William C. Chittik, Triologi Islam (Islam,Iman dan ihsan),hlm.
293.
[15] Imam
Nawawi, Arbain Nawawiyah, CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic
Software
[16] Ibnu Athailah, Al-Hikam Untian Hikmah Ibnu
Athaillah, terj. Fauzi Faisal
Bahreisy, ( Jakarta: Zaman, 2009), hlm. 286-287.
[17]
Yusuf al-Qardhawi, Niat
dan Ikhlas, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hlm. 23.