20120401

Ihsan dan Ikhlas dalam Kehidupan



BAB II
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِم [1]

Umar bin Khathab ra. berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah SAW. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam. ”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para Rasul-Nya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi SAW. menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi. ”Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, ” Beliau bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian”. (H.R Muslim No:8 ).
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 8), dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at- Tirmidzi (no.2610), an-Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), al Bukhari dalam bab suila jibril (no: 50) Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.[2]
Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Bari (I/115-116), yaitu [3]
- Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i);
- Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim);
- Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad);
- Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah);
- Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan).
Hadis ini adalah hadits yang terkenal dengan sebutan Hadits Jibril. Hadis  jibril ini berisi tentang Triologi Islam yaitu
a.       Iman (enam rukun iman); yaitu
1.      Iman kepada Allah SWT;
2.      Iman kepada Malaikat ;
3.      Iman kepada Kitab-kitab;
4.      Iman kepada Rasaul-rasul;
5.      Iman kepada Hari Akhir; dan
6.      Iman kepada Qada dan Qadar (Taqdir).
b.      Islam (lima rukun islam); yaitu
1.      Mengucapkan dua kalimat Syahadat;
2.      Mendirikan Shalat;
3.      Mengeluarkan Zakat;
4.       Melaksanakan Puasa Ramadhan; dan
5.      Melaksanakan Ibadah Haji.
c.       Ihsan; dan
d.      Beberapa tanda datangnya kiamat.
Ada pun yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini ialah tentang Ihsan yang erat kaitannya dengan ikhlas (keikhlasan).

B.     Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, penulis akan menentukan beberapa rumusan permasalahan sebagi acuan dasar dalam membuat tulisan ini. Adapun rumusan-rumusan masalah tersebut :
1.    Apa yang di maksud dengan Ihsan dan apa dasar hukumnya?
2.    Apa yang di maksud dengan Ikhlas dan apa dasar hukumnya?
3.    Bagai mana hubungan natara Iman, Islam, Ihsan dan Ikhlas dalam kehidupan  manusia sehari-hari?

C.    Tujuan

Untuk menguraikan rumusan yang telah penulis kemukakan di atas. Penulis akan mengajukan beberapa tujuan dasar yang ingin penulis capai dalam membuat tulisan ini. 
 Adapu tujuan-tujuan tersebut :

1.   Menjelaskan pengertian Ihsan dan dasar hukumnya;
2.   Menjelaskan pengertian Ikhlas dan dasar hukumnya; dan
3.   Mengemukakan bagai mana hubungan antara Iman, Islam, Ihsan dan Ikhlas dalam kehidupan manusia sehari-hari.













BAB II
PEMBAHSAN

A.  Pengertian Ihsan dan Dasar Hukumnya

a.      Pengertian

Pengertian  Ihsan secara etimologi dalam buku Triologi Islam ( Islam, Iman dan ihsan) terjemahan dari buku The Vision Of Islam karya Saciko Murata dan William C. Chittik ialah: Ihsan berasal dari kata husna,  yang menunjuk pada kualitas sesuatu yang baik dan indah. Dalam kamus dinyatakan bahwa kata  husna, dalam pengertian yang umum, bermkna setiap kualitas yang positif (kebajikan, kejujuran, indah, ramah, menyenangkan, selaras, serasi dll.). lawan kata husna adalah qabih (sifat yang menjijikkan) dan  su’u ( buruk atau jahat).
Banyak kamus yang tidak mempertimbangkan kata husn,  yang menjadi sinonom dari kata khair. Husna adalah kebikan yang tidak dapat dilepaskan dari keindahan dan sifat-aifat yang memikat, sementara itu kata khair merupakan suatu kebaikan yang memberikan kegunaann konkret, sekalipun sesuatu tersebut tidak indah dan tidak bersifat memikat’ atau ia semata berati “lebih baik” dari pada alternatif lain-nya. Kita sering meliha kata khair dalam bentuk perbandingan kata sifat.
Al-Qur’an menggunakan kata hasanat, dari akar kata yang sama dengan husna, pada makna suatu perbuatan atau sesuatu hal yang bersifat biak atau indah. Lawan dari kata sayiat, suatu perbuatan atau suatu hal yang buruk. Sebuah hasana dapat dilakukan oleh manusia dan Tuhan, sedangkan sayiat hanya dilakukan oleh manusia.[4]
 Sedangkan secara bahasa, pengertian Ihsan dapat kita ketahui langsung dari hadits jibril diatas yaitu

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ[5]

Hendaklah kamu beribahdah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Ia melihat kamu”.
Ada juga yang menyatakan bahwa ihsan itu ialah: “Melakukan ibadah dengan khusyuk, ikhlas dan yakin bahawa Allah sentiasa mengawasi apa yang dilakukannya”.
Ihsan dalam berubadah terbagi menjadi dua:
1.       Ihsan dalam ibadah kepada Allah; dan
2.       Ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk.
Ihsan dalam beribadah kepada Allah terbagi lagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib dan ihsan yang mustahab (sunah). Sebagaimana ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk juga terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib, dan ihsan yang mustahab (sunah).

b.      Dasar hukum

Seperti yang kita ketahui bahwa semua ajaran ialam memiliki dasar hukum yang menjadi dalil penguat ajaran tesebut. Begitu pula dengan ihsan. Adapun beberapa dasar hukum ihsan ialah:

1.      Surah al-Kahfi: 30

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا

Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.”( QS. al-Khfi: 30).

2.      Surat al-Qhasas: 84

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan” ()QS. Al-Qashas: 84).
3.      Surat az-Zumar: 34

لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ

Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik”. (QS. az-Zumar: 34).

4.      Surah an-nisa: 125

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”.(QS. An-Nisa: 125).
5.       Surah al-A’raf: 56

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.(QS. Al-A’raf: 56).
6.      Hadits riwayat muslim

عن شداد بن أوس قال: رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إن الله كتب الإحسان على كل شيء[6] ….

Dari Syaddad Ibn Aus berkata: Rasululullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berlaku Ihsan terhadap setiap sesuatu”.

7.      Hadis jibril yang telah disebutkan di atas.
Itulah beberapa sumber hukum yang menjadi dasar dari ihsan. Baik dari al-Qur’an maupun as-Sunah. Dan masih banyak ayat dan hadist yang lainnya.

B.   Pengertian Ikhlas dan Dasar Hukumnya

a.      Pengertian

Segala sesuatu dapat bercampur dengan yang lainnya. Ketika sesuatu itu dapat bersih dan terbebas dari segala bentuk campuran yang ada, maka sesuatu itu dinamakan Ikhlas. Oleh karena itu, perbuatan yang bersih dan terbebas dari campuran yang dapat merusaknya dinamakan ikhlas. Tentang makna kata ikhlas tersirat dalam firman Allah SWT.

...مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا...

 “...Berupa susu yang bersih (di dalam perutnya) antara kotoran dan darah...”.                       ( an-Nakhl: 66).
Di sini, susu yang murni (khalis) adalah susu yang tidak bercampur dengan kotoran dan darah, sehingga suatu perbuatan bisa dikategorikan ikhlas jika di dalamnya tidak bercampur dengan suatu apa pun. Oleh karena itu perbuatan yang bersih dari riya’ dan hanya semata-mata karena Allah SWT, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang ikhlas.[7]
Itulah pengertian ikhlas secara bahasa. Ada pun pengertian ikhlas menurut istilah yang dikemukakan oleh beberapa tokoh ialah
1.    Imam as-Susi[8] berkata, ”Ikhlas adalah perbuatan menghilangkan persepsi keikhlasan itu sendiri. Sebab orang yang dalam keikhlasannya ternyata melihat bahwa dirinya ikhlas, maka keikhlasanyan itu membutuhkan keikhlasan yang lain”. Maksudnya adalah agar kita membersihkan perbuatan kita dari sifat  ujub ( kagum). Sebab memperhatikan suatu perbuatan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah masuk dalam kategori ikhlas adalah bersikap ujub, dan ini adalah satu penyakit ikhlas. Padahal suatu perbuatan dapat dinamakan ikhlas jika perbuatan tersebut bersih dari segala macam penyakit dan noda.
2.    Sahl [9] pernah di tanya, “Hal apakah yang paling sulit dicapai oleh jiwa?”, ia menjawab,”Keikhlasan, karena keikhlasan tidak ada tempatnya dalam jiwa. Ia juga berkata, ”hamba yang ikhlas adalah hamba yang menjadikan segala perbuatan dan gerakannya hanya karena Allah SWT semata.
3.    Al-junaid berkata,”ikhlas adalah membersihkan semua perbuatan dari segala kotoran”.
4.    Al-Fudhail berkata, “ Meninggalkan perbuatan karena orang lain adalah riya’. Sedangkan perbuatan karena orang lain adalah syirik. Jadi keikhlasan adalah jika dirimu bersih dari kedua hal itu”.
5.    Ulama lain mengemukakan, “Ikhlas adalah selalu konsisten dalam berniat karena Allah SWT dan melupakan semua acuan kepada selain-Nya.[10]
Dari pengertian yang dikemukakan oleh beberapa totoh tadi dapat kita simpulkan bahwa ikhlas ialah “Mengerjakan perbuatan dengan diniatkan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT”.

b.      Dasar hukum

Di bawah ini beberapa dalil-dalil yang menjadi dasar ikhlas ialah

1.    Surah al-Bayyinah: 5

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5).
2.    Surah az-Zumar: 3

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ...

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...”.     (QS. Az-Zumar: 3).

3.    Hadits Imam hakim

اَخلِص دِينَكَ يَكفِكَ العَمل القَلِيلاَ[11]

Ikhlaskan agamamu, Engkau cukup dengan amal yang sedikit”.

4.    Hadits Muslim

اِنّ الله لا يَنظر الي اَجسمكم ولا الي صوركم ولكن ينظر الي قلوبكم واعمالكم[12]

“Allah tidak melihat kepada tubuh kalian, dan tidak kepada bentuk kalian. Melainkan Allah hanya melihat kepada hati dan perbuatan kalian”.                  ( H.R Muslim) .


5.    Hadits Ibnu majah

من فارقا الدنيا علي الاخلص لله وحده لاشريك له واِقام الصلا ةِ وا تي الزكاةِ فارقاها والله عنه راضٍ[13]

“ Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan ikhlas kepada Allah la Syarikalahu, dalam keadaan telah mengenakan shalat dan menunaikan zakat, maka ia meninggal dunia dalam keadaan Allah ridha kepadanya”.                 (H.R Ibn Majah).

C.  Hubungan Antara Iman, Islam, Ihsan dan Ikhlas

Jika kita lihat dalam Hadits Jibril di atas, kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa Iman berdedikasi pada dimensi pemahaman. Islam berdedikasi kepada dimensi perbuatan (‘amal) dan Ihsan berdedikasi kepada dimensi  kehendak (niat). Mengapa manusia melakuakan apa yang mereka kerjakan? Islam memberitahukan kepada kita tentang apa yang harus kita kerjakan, sedangkan iman memberikan manusia pemahaman tentang apa yang harus dikerjakan. Tetapi tidak satu pun dari keduanya (iman dan islam) secara khusus menekankan diri dengan permasalahan ”bagimanakah dapat menghadirkan motivasi dan kualitas psikologis seorang menjadi harmonis dengan perbuatan  dan pemahaman manusia”. Inilah  pusat dan sasaran perhatian pembahasan ihsan dan berkaitan dengan sifat ideal manusia.[14]
Pernyataan di atas sesuai dengan firman Allah dal surah al-Kahf: 30

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik”. (QS. al-kahfi: 30)
Ketika ihsan dikaitkan dengan dimensi niat. Maka hal ini erat kaitannya dengan keikhlasan. Semua amal yang kita kerjakan diterima atau tidak oleh Allah tergantung kepada nianya. Apabila niatnya ikhlas, maka amal yang kita kerjakan itu akan diterima oleh Allah SWT, begitu pula sebaliknya. hal ini sesuai dengan hadit Nabi yaitu:

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
 إنما الأعمال بالنيات وإنما لكلامرئ ما نوى . فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت
هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه) . رواه إمام المحد ثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل
بن ابراهيم بن المغيره بن برد زبه البخاري الجعفي،[رقم:1] وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري([15]

Dari Amirul Mukminin, Abu hafsh Umar bin Khatab ra. Ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya. Maka siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah karena Allah, dan siapa saja yang berhijrah karena dunia maka ia akan mendapatkannya atau perempuan maka ia akan menikahinya. Maka hijrahnya itu tergantung kepada apa yang ia kehendaki”. ( HR. Bukhari dan Muslim).
Terlepas dari hadits di atas. Untuk mendapatkan derajat ihsan maka kita harus menempuh berberapa cara. Ada  orang berpendapat bahwa zikirlah alternatifnya, yaitu dengan cara memperbanyak zikir. Dalam kitab al-Hikam Ibn ‘Atha Allah al-Askandari berkata:

“Resapilah zikir agar engkau merasakan nikmat bersama-Nya tanpa akhir. Bila sebab keyakinanmu kepada-Nya membuatmu senantiasa berzikir kepada-Nya, itu tanda bahwa cahaya iman telah menetap dalam hatimu. Jika yang lahir pada dirimu adalah kehendak berzikir, lalu engkau temukan kenikmatan berserah kepada-Nya, engkau telah dihampiri cahaya islam. Ada pun orang yang telah dianugerahi cahaya ihsan, menetap dalam dirinya cahaya iman dan islam sekaligus. Zikir dan kesadaran spiritual menyala secara bersamaan.  Orang-orang yang seperti ini telah meraih anugerah kearifan-Nya. Dalam diri mereka, zikir adalah kesdaran hidup. Mereka senantiasa terikat kepada-Nya hingga hidup mereka diliputi cahaya-Nya. Tetapi di samping yang disebutkan di atas, ada orang-orang yang betah dalam kegelapan. Mereka adalah orang yang mengingkari kebenaran-Nya dan keadaan mereka sendiri sekaligus. Mereka tanpa cahaya, juga tanpa kesadaran. Bila hati ingkar, bagaimana kesadaran akan muncul? Berislamlah dengan iman, berimanlah dengan islam, maka engkau akan mendapatkan (berada dalam) ihsan.[16]
Bila kita renungkan perkataan iman Ibnu Atha Allah. Maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa hubungan antara iman, islam dan ihsan itu sangat erat. Untuk mempererat hubungan ketiganya kita harus melaksanakan zikir dengan ikhlas.
Zikir itu tidak mesti berwujud ucapan, tapi juga bisa berwujud pekerjaan (zikir amali), seperti infak. Sebagian orang berpendapat bahwa berinfak di jalan Allah lebih baik dari zikir yang berwujud ucapan (zikir lisan) yang disertai dengan kesungguhan hati karena kebanyakan orang yang di dunia ini gila dengan harta. Jika orang bisa menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan tulus maka dia telah lulus dari ujian cinta dunia. Allah SWT berfirman dalam surat al-Munafiqun: 9-10

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9) وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا
 رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ(10)

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.(9) Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan  kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.”(QS. Al-Munafiqun: 9-10).
Ada juga yang menempuhnya denga cara berbuat baik kepada semua makhluk. mulai dari manusia, baik muslim maupun non-Muslim, hewan, tumbuhan dan makhluk ciftaan Allah lainya. Perbuatan baik tersebut disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
Sedangkan untuk mendapatkan keikhlasan kita harus menempuh dua  cara:[17]
1.                Menghadirkan niat dalam setiap perbuatan karena pebuatan tergantung dengan niat.
Niat merupakan landasan utama dari ikhlas karena dengan niatlah keikhlasan seseorang bisa ditentukan. Jika niat dia melakukan perbuatan karena Allah maka itu dinamakan ikhlas, tapi apabila niatnya bukan karena Allah maka itu tidak bisa dinamakan ikhlas. Rasulullah SAW bersabda:
إنما الأعمال بالنيات, و إنما لكل امرئ مل نوى...
Setiap perbuatan itu tergantung dengan niatnya dan setipa orang mempunyai niatnya masing-masing.
Hadits di atas menjelaskan bahwa perbuatan seseorang tergantung dengan niatnya. Niat itu tidak mesti niat yang baik, tapi ada juga niat yang buruk. Penentuan baik dan buruknya niat adalah faktor pendorong, jika faktor pendorongnya adalah ridha Allah maka itu bisa disebut niat yang baik dan jika faktor pendorongnya adalah ridha manusia maka itu bisa disebut niat yang buruk.
Pahala dari suatu perbuatan juga tergantung pada niatnya. Perbuatan yang asalnya adalah mubah bisa jadi mendapatkan pahala yang besar karena sebuah niat, begitu juga sebaliknya dia mendapatkan dosa yang besar karena sebuah niat. Sebagai contohnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad:

الخيل ثلاثة: فرس يرتبط فى سبيل الله, فثمنه أجر و ركوبه أجر و عاريته أجر. و فرس يغالق عليه الرجل و يراهن (فرس القمر), فثمنه وزر و ركوبه وزر. و فرس للبطنة, فهسى أن يكون سددا من الفقر إن شاء الله- رواه أحمد.
Kuda itu ada tiga macam: kuda yang dipersiapkan seseorang di jalan Allah. Harganya merupakan pahala, menaikinya merupakan pahala, dan dan meminjamkannya juga merupakan pahala. Kuda yang dibuat taruhan dan dijadikan judi. Harganya merupakan dosa, dan menaikinya juga merupakan dosa. Dan kuda untuk mata pencaharian. Boleh jadi ia bisa menutup kebutuhan dari kemiskinan atas kehendak Allah. (H. R Ahmad).
Jika kita mencermati hadits di atas, kita tahu bahwa membeli atau memilki kuda adalah hal yang bersifat mubah, tapi jika pemiliknya berniat ingin menggunakan kuda tersebut di jalan kebaikan seperti jihad di jalan Allah atau menjadikan sebagai sarana untuk mencari rezki Allah maka dia akan mendapatkan pahala yang besar. Begitu juga sebaliknya, jika pemilik kuda tersebut memanfaatkannya untuk hal-hal yang maksiat, seperti menjadikannya sebagai taruhan maka dia akan mendapatkan dosa. Niat juga tidak bisa mengubah yang halal menjadi yang haram, misalnya ada seorang rentenir ingin berinfak ke sebuah yayasan panti asuhan. Seberapapun besarnya harta yang dia infakkan dan setulus apaun niatnya tetap saja infaknya tersebut tidak diterima Allah karena harta yang dia infakkan merupakan harta yang haram.

2.                Melepaskan segala perbuatan yang kita lakukan dari unsur duniawi sehingga perbuatan itu murni karena Allah.
Ikhlas hanya bisa didapatkan jika kita mempunyai niat yang tulus, lillahi ta’ala. Seseorang akan mendapatkan hasil dari keikhlasannya. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan karena mengharapkan ridha Allah, maka ridha Allah yang didapatkan dan jika yang diharapkan adalah ridha manusia, maka ridha manusia lah yang dia dapatkan.
Segala perbuatan yang kita lakukan harus didasrakan ikhlas karena Allah. karena salah satu syarat diterimanya amal adalah niat yang ikhlas, niat yang murni karena Allah. Allah SWT berfirmandalam surat al-An’an: 162-163:


قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".(QS.al-‘an’am : 162-163).















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Ihsan adalah melakukan perbuatan baik disertai niat yang ikhlsa kerena Allah SWT. ihsan akan kita peroleh bila kita telah melaksanakan iman dan islam. Ihsan juga dapat dicapai dengan berzikir kepada Allah. Baik itu zikir lisan maupun perbuatan.
Keiklasan adalah syarat yang mutlak harus dimiliki oleh umat islam. Semua amal yang dilakukan oleh manusia memiliki nilai di sisi Allah bila amal tersebut disertai dengan keikhlasan dalam niatnya.
Hubungan iman, islam, ihsan dan ikhlas sangat erat. Hubungan keempatnya itu tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi. Iman berdedikasi kepada pemahaman, islam berdedikasi kepada pekerjaan, ihsan berdedikasi kepada niat sedangkan ikhlas berdedikasi kepada pemurnian niat karena Allah dalam mengerjakan apa yang ingin dikerjakan.






DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agma RI.  Al-Quran dan Terjemahnya.  Bandung:  PT Syaamil Cipta Media. 2005.
Al-Qardhawi, Yusuf, Niat dan Ikhlas, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 1995.
Athailah, Ibnu. Al-Hikam Untian Hikmah Ibnu Athaillah. terj.  Fauzi Faisal Bahreisy,      Jakarta: Zaman. 2009.
Al-Ghazali, Muhammad.  Khuluqul muslim( Akhlaq Seorang Muslim). terj. Abu Laila, Muhammad Tohir. Bandung: PT Alma’arif Bandung. 1995.
Ghazali, Imam. Ihya Ulumuddin.  terj. Fudhailurrahman, Aida Humaira, Jatiwangi: Sahara. 2007
Murata, Saciko dan William C. Chittik. Triologi Islam (Islam,Iman dan ihsan).  terj. Ghufron. A. Mas’adi. Jakarta: Pt Raja Grafindo. 1997.
Al ‘Asqalani. al Hafizh Ibnu Hajar. Fathul Bar.  CD mausuah Global Islamic Software.
Muslim., Imam. al-Jami’ush Shahih. CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software.
Nawawi, Imam.  Arbain Nawawiyah.  CD al-Maktabah al-Syamilah.  Global Islamic Software.



[1]   Imam Muslim, al-Jami’ush Shahih, CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software.
[2] Takhrij, CD mausuah Islamic Software..
[3] al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani,  Fathul Bari, CD mausuah Islamic Software.
[4] Saciko Murata, William C. Chittik, Triologi Islam (Islam,Iman dan ihsan), terj. Ghufron. A. Mas’adi, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 1997), hlm.294-295.
[5] Imam Muslim, al-Jami’ush Shahih,
[6] Imam Muslim, al-Jami’ush Shahih,.
[7] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Fudhailurrahman, Aida Humaira, (Jatiwangi: Sahara, 2007). Hlm. 509.
[8] Ia adalah Shaleh bin Ziyad as-Susi ar-Raqi, Abu Syu’aib, seorang ahli qira’at yang dahbit, tsiqah.
[9] Ia adalah Sahl bin Abdullah bin Yunus, Abu Muhammad at-Tustari, seorang ahli sufi dan zuhud.
[10] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Fudhailurrahman, Aida Humaira, (Jatiwangi: Sahara, 2007). Hlm. 509-510.
[11] Lihat Muhammad al-Ghazali, Khuluqul muslim( Akhlaq Seorang Muslim), terj. Abu Laila, Muhammad Tohir, ( Bandung: PT Alma’arif Bandung, 1995), hlm.131.
[12] Imam muslim, Jamius Shahih jilid 8 ,
[13] Muhammad al-Ghazali, Khuluqul muslim( Akhlaq Seorang Muslim),hlm. 133
[14] Saciko Murata, William C. Chittik, Triologi Islam (Islam,Iman dan ihsan),hlm. 293.
[15] Imam Nawawi, Arbain Nawawiyah, CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software
[16]  Ibnu Athailah, Al-Hikam Untian Hikmah Ibnu Athaillah, terj.  Fauzi Faisal Bahreisy, ( Jakarta: Zaman, 2009), hlm. 286-287.
[17] Yusuf al-Qardhawi, Niat dan Ikhlas, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hlm. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar