BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Al-Qur’an adalah kitab sumber dasar hukum Islam, bukanlah kitab
hukum islam. Oleh karena itu, untuk menemukan hukum
yang terkandung di dalamnya, diperlukan adanya suatu penafsiran.
Dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa kaidah penafsiran, agar
isi atau kandungan serta pesan-pesan al-Qur’an
dapat ditangkap dan dipahami secara baik sesuai dengan tingkat kemampuan manusia.
Dalam diskursus ‘ulum al-Qur’an ini, para ulama tafsir
berbeda pendapat mengenai ada atau tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan
pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa
kemampuan menafsirkan al-Qur’an bukan berdasarkan kepada kaidah-kaidah
tertentu, tetapi harus digali langsung dari al-Qur’an atas petunjuk Nabi dan
para sahabatnya. Sedangkan pendapat lain mangatakan bahwa dalam menafsirkan
al-Qur’an diperlukan kaidah-kaidah tertentu, terutama kaidah bahasa.[1]
Dari dua pendapat diatas, mayoritas ulama cenderung mendukung
pendapat kedua. Alasannya, dengan menguasai kaidah-kaidah penafsiran dapat memudahkan
seseorang dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebaliknya, pendapat
pertama cenderung mempersulit seseorang yang ingin memperdalam al-Qur’an.[2]
Kaidah-kaidah penafsiran itu ada tiga macam yaitu kaidah dasar,
kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Kaidah dasar
ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadits nabi,
pendapat sahabat, dan dengan pandapat tabi’in. Sedangkan kaidah syar’i ialah
menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, diantaranya ialah: mantuq dan mafhum,
mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mufhassal dan lain-lain.
Sedangkan kaidah kebahasan ialah kaidah yang menjadi alternatif dalam
menafsirkan al-Qur’an. Kaidah kebahasaan ini mencakup kaidah isim dan fi’il,
amr dan nahy, istifham, dlamir, mufrad dan jamak, muzakkar dan muannats, taqdim dan ta’khir dan
lain-lain. Namun yang akan penulis ungkapkan dalam tulisan ini hanya kaidah isim
dan fi’il.
B. Rumusan masalah
Dalam membahas kaidah isim
dan fi’il, penulis
menentukan beberapa rumusan tentang permasalah tersebut yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud dengan isim dan fi’il dalam al-Qur’an?
2.
Apa
fungsi dari kaidah isim dan fi’il terhadap penafsiran al-Qur’an?
3.
Apa
contoh atau bentuk isim dan fi’il dalam al-Qur’an?
C.
Tujuan penulisan
Dalam
menanggapi rumusan masalah yang telah ditentukan diatas, penulis memiliki
beberapa tujuan agar rumusan masalah tersebut tersebut dapat terpecahkan.
Diantara tujuan tulisan ini ialah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari kaidah isim dan fi’il dalam kaidah kebahasaan;
2.
Untuk
mengetahui tujuan dari kaidah isim dan fi’il dalam kaidah kebahasaan; dan
3.
Dapat
menyebutkan beberapa contoh dari isim dan fi’il dalam beberapa
ayat al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Diantara
kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il.
Sering kita jumpai kalimat-kalimat dalam al-Qur,an yang diungkapkan dalam
bentuk kalimat isim (nominal) dan kalimat fi’il (verbal).[3] Perlu
diketahui bahwa dalam beberapa sumber isim di sebut jumlah ismiyah dan fi’il di sebut jumlah fi’liyah.
Jumlah
ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar
(terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti
tajadud (timbulnya sesuatu) dan huduts (temporal).
Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh
yang lain. Misalnya tentang infaq yang di ungkapkan dengan kalimat verbal,
seperti dalam QS. Ali ‘Imran: 134
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Di sini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam
masalah keimanan, digunakan kalimat nominal. Seperti dalam QS. Al Hujurat: 15
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
15.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
mereka Itulah orang-orang yang benar.
Hal ini karena
infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan
terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang
tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.[4]
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa yang
dimaksud dengan isim ialah keadan sesuatu yang tetap dan berlangsung.
Sedangkan yang dimaksud fi’il ialah timbulnya suatu yang sebelumnya
tidak ada dan didalamnya terdapat suatu pekerjaan atau perbuatan.
B.
Tujuan isim dan fi’il
Semua
kata yang disebutkan dalm al-Qur’an memiliki makna dan tujuan masing-masing (kecuali
fawatihus suwar yang maknanya tidak diketahui oleh manusia), begitu pula
pengunaan kata isim dan fi’il memiliki tujuan tertentu. Adapun
tujuan penggunaan isim dan fi’il dalam
al-Qur’an:[5]
1.
Pengunaan
kata isim betujuan untuk menunjukan sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah,
Contoh
QS. Al Kahfi: 18
وَتَحْسَبُهُمْ
أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ
بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ
عَلَيْهِمْ
لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
18. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal
mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang
anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan
diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
2.
Penggunaan
kata isim untuk menunjukan janji surga atau balasan yang amat tinggi,
Contoh QS. Al Hijr: 45
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ
45. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu
berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang
mengalir).
3.
Pengunaan
kata fi’il untuk menunjukan pekerjaan yang berulang-ulang dan
berkesinambungan ( fi’il mudhari’ ),
Contoh QS Faatir: 3
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
4.
Hai manusia,
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat
memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia;
Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
5. Pengunaan fi’il untuk menunjukan pristiwa yang tejadi dimasa
lampau ( fi’il madhi)
Contoh QS. An Nisa: 162
لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ
وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا
162. Tetapi
orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin,
mereka beriman kepada apa yang Telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa
yang Telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang
Itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang besar.
6. Pengunaan fi’il untuk memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan
peristiwa tersebut pasti akan datang, cepat atau lambat dan tak dapat di tolak
oleh siapa pun.
Contoh QS. Yasin: 51
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى
رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ
51. Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba
mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.
7. Pengunaan fi’il untuk menunjukan
sifat-sifat yang harus di perbaharui secara terus menerus dan berkesinambungan
Contoh QS. An Nisa: 162
لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ
يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ وَالْمُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ
وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا
عَظِيمًا
162. Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di
antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang Telah
diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang Telah diturunkan sebelummu dan
orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan kami berikan kepada
mereka pahala yang besar.
8. Pengunaan f’il untuk menunjukan
keberadaan tindakan yang mungin ada dan mungkin tidak ada, sebagai sesuatu yang temporal,[6]
Contoh QS. Al Baqarah :274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُونَ
274. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di
malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
9. Penggunaan fi’il (mudhari’)
untuk menggambarkan salah satu dari dua hal yaitu keindahan atau kejelekan peristiwa itu.[7]
Contoh QS. Ali Imron:21
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ
بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ
بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
21. Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh
orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa
mereka akan menerima siksa yg pedih.
C.
Contoh
penerapan kaidah isim dan fi’il
Berikut
ini beberapa contoh firman Allah yang menggunakan isim :[8]
1.
QS.
Al-kahfi: 18
وَتَحْسَبُهُمْ
أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ
بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ
عَلَيْهِمْ
لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
18. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal
mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang
anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan
diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
Ayat tersebut
menggambarkan tentang keadaan anjing Ashhabul Kahfi ketika mereka
tertidur dalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selema mereka
tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim, tidak dengan
fi’il. Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang
waktu itu.
2.
QS.
Al-hujurat: 15
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.
Iman adalah hakikat yang harus tetap
berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan,
kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan
keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin
adalah sebutan bagi orang yang keberadaannya senantiasa diliputi iman.
3.
QS.
Al
Baqarah:177
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ
وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ
إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ
أُولَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.
Di dalam ayat di atas, pemenuhan janji, sabar, dan takwa diungkapkan
dalam bentuk isim yang menunjukkan kelangsungan sifat tersebut pada pelakunya.
Sedangkan
beberapa contoh redaksi ayat yang mneggunakan fi’il ialah sebagai
berikut:
1.
QS. Al Baqarah: 274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ
بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
274. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di
malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
Kata yunfiqun
pada ayat di atas menunjukkan keberadaannya sebagai suatu tindakan yang bisa
ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal.
2.
QS.
Asy-syu’ara: 78-82
الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ
(78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79)
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ
(81)
وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
(82(
78. (yaitu Tuhan) yang Telah menciptakan aku,
Maka dialah yang menunjuki aku,
79. Dan Tuhanku, yang dia memberi makan dan minum
kepadaku,
80. Dan apabila Aku sakit, dialah yang
menyembuhkan aku,
81. Dan yang akan mematikan aku, Kemudian akan
menghidupkan Aku (kembali),
82. Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni
kesalahanku pada hari kiamat".
Kata kerja
khalaqa dalam ayat tersebut, menunjukkan telah terjadi, dan selesainya
penciptaan pada waktu yang lampau. Sedang kata kerja yahdi dan lain-lain
dalam rangkaian ayat di atas menunjukkan berlangsungnya perbuatan itu waktu
demi waktu berangsur-angsur hingga sekarang.
3.
QS.
Fatir: 3
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
3. Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu.
Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari
langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling
(dari ketauhidan)?
Isin khaliq
dalam ayat tersebut menunjukkan sifat yang melekat secara permanen pada
pelakunya. Sedangkan yarzuqukum menunjukkan pemberian rizki itu secara
bertahap.
BAB III
KESIMPULAN
Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah
kaidah isim dan fi’il. Jumlah ismiyah
atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar (terus-menerus),
sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti tajadud (timbulnya sesuatu) dan huduts (temporal).
Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh
yang lain. Kegunaan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah dalam
al-Qur’an mempunyai fungsi yang berbeda-beda seperti yang telah dijelaskan
secara spesifik dalam pembahasan di atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattaan, Manna’ Khalil. Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an.
Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor: 2009.
Baidan, Nashirudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta: 2011.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. PT Dana
Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta: 1998.
Usman. Ilmu Tafsir. Teras. Yogyakarta: 2009.
[1]
Usman,Ilmu tafsir,( Yogyakarta: TERAS, 2009 ), hal. 240.
[2]
Usman, Ilmu Tafsir, hal. 240.
[3]
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,( yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 1998 ), hal. 157
[4]
Mana Khaliil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, ter. Mudzakir AS(
Bogor: PT Litera Antar Nusa, 2011 ), hal.291-292.
[5]
Lihat Nasirudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hal. 322-326
[6]
Lihat Usman,Ilmu tafsir,( Yogyakarta: TERAS, 2009 ), hal. 256.
[7]
Usman, Ilmu Tafsir, hal. 256-257.
[8]
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,( yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 1998 ), hal.158-163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar