20120327

KAIDAH ISIM DAN FI'IL



                                           

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Al-Qur’an adalah kitab sumber dasar hukum Islam, bukanlah kitab hukum islam. Oleh karena itu, untuk menemukan hukum yang terkandung di dalamnya, diperlukan adanya suatu penafsiran. Dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa kaidah penafsiran, agar isi atau kandungan serta pesan-pesan al-Qur’an dapat ditangkap dan dipahami secara baik sesuai dengan tingkat kemampuan manusia.
Dalam diskursus ‘ulum al-Qur’an ini, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai ada atau tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa kemampuan menafsirkan al-Qur’an bukan berdasarkan kepada kaidah-kaidah tertentu, tetapi harus digali langsung dari al-Qur’an atas petunjuk Nabi dan para sahabatnya. Sedangkan pendapat lain mangatakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an diperlukan kaidah-kaidah tertentu, terutama kaidah bahasa.[1]
Dari dua pendapat diatas, mayoritas ulama cenderung mendukung pendapat kedua. Alasannya, dengan menguasai kaidah-kaidah penafsiran dapat memudahkan seseorang dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebaliknya, pendapat pertama cenderung mempersulit seseorang yang ingin memperdalam al-Qur’an.[2]
Kaidah-kaidah penafsiran itu ada tiga macam yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Kaidah dasar ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadits nabi, pendapat sahabat, dan dengan pandapat tabi’in. Sedangkan kaidah syar’i ialah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, diantaranya ialah: mantuq dan mafhum, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mufhassal dan lain-lain.
Sedangkan kaidah kebahasan ialah kaidah yang menjadi alternatif dalam menafsirkan al-Qur’an. Kaidah kebahasaan ini mencakup kaidah isim dan fi’il, amr dan nahy, istifham, dlamir, mufrad dan jamak, muzakkar  dan muannats, taqdim dan ta’khir dan lain-lain. Namun yang akan penulis ungkapkan dalam tulisan ini hanya kaidah isim  dan fi’il.


B.  Rumusan masalah
Dalam membahas kaidah isim  dan fi’il, penulis menentukan beberapa rumusan tentang permasalah tersebut yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan  isim dan  fi’il dalam al-Qur’an?
2.      Apa fungsi dari kaidah isim dan  fi’il  terhadap penafsiran al-Qur’an?
3.      Apa contoh atau bentuk isim  dan fi’il  dalam al-Qur’an?

C.  Tujuan penulisan
Dalam menanggapi rumusan masalah yang telah ditentukan diatas, penulis memiliki beberapa tujuan agar rumusan masalah tersebut tersebut dapat terpecahkan. Diantara tujuan tulisan ini ialah:
1.    Untuk mengetahui pengertian dari kaidah isim  dan fi’il dalam kaidah kebahasaan;
2.    Untuk mengetahui tujuan dari kaidah isim  dan fi’il  dalam kaidah kebahasaan; dan
3.      Dapat menyebutkan beberapa contoh dari isim dan fi’il dalam beberapa ayat al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian

Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il. Sering kita jumpai kalimat-kalimat dalam al-Qur,an yang diungkapkan dalam bentuk kalimat isim (nominal) dan kalimat  fi’il (verbal).[3] Perlu diketahui bahwa dalam beberapa sumber isim  di sebut  jumlah ismiyah dan  fi’il  di sebut jumlah fi’liyah.
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti  tajadud (timbulnya sesuatu) dan huduts (temporal). Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang di ungkapkan dengan kalimat verbal, seperti dalam QS. Ali ‘Imran: 134

 الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
134.  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.


Di sini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan, digunakan kalimat nominal. Seperti dalam  QS. Al Hujurat: 15

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

15.  Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.
 Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.[4]
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan isim ialah keadan sesuatu yang tetap dan berlangsung. Sedangkan yang dimaksud fi’il ialah timbulnya suatu yang sebelumnya tidak ada dan didalamnya terdapat suatu pekerjaan atau perbuatan.

B.  Tujuan isim dan fi’il
Semua kata yang disebutkan dalm al-Qur’an memiliki makna dan tujuan masing-masing (kecuali fawatihus suwar yang maknanya tidak diketahui oleh manusia), begitu pula pengunaan kata isim dan fi’il memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan penggunaan isim dan fi’il dalam al-Qur’an:[5]
1.      Pengunaan kata isim betujuan untuk menunjukan sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah,
Contoh QS. Al Kahfi: 18

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ
 عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
18.  Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

2.      Penggunaan kata isim untuk menunjukan janji surga atau balasan yang amat tinggi,
Contoh QS. Al Hijr: 45
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ

45.  Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).

3.      Pengunaan kata fi’il untuk menunjukan pekerjaan yang berulang-ulang dan berkesinambungan ( fi’il mudhari’ ),
Contoh QS Faatir: 3

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ

4.       Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?

5.      Pengunaan fi’il  untuk menunjukan pristiwa yang tejadi dimasa lampau ( fi’il madhi)
Contoh QS. An Nisa: 162
لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ
 وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا

162.  Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang Telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang Telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang besar.

6.      Pengunaan fi’il untuk memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan peristiwa tersebut pasti akan datang, cepat atau lambat dan tak dapat di tolak oleh siapa pun.
Contoh QS. Yasin: 51

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ
51.  Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.
7.      Pengunaan fi’il untuk menunjukan sifat-sifat yang harus di perbaharui secara terus menerus dan berkesinambungan
Contoh QS. An Nisa: 162

لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ وَالْمُؤْتُونَ
 الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا
162.  Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang Telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang Telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang besar.

8.      Pengunaan f’il untuk menunjukan keberadaan tindakan yang mungin ada dan mungkin tidak ada, sebagai sesuatu yang temporal,[6]
Contoh QS. Al Baqarah :274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

274.  Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

9.      Penggunaan fi’il (mudhari’) untuk menggambarkan salah satu dari dua hal yaitu keindahan atau kejelekan peristiwa itu.[7]
Contoh QS. Ali Imron:21

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ
 بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

21.  Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih.

C.  Contoh penerapan kaidah isim dan fi’il

Berikut ini beberapa contoh firman Allah yang menggunakan isim :[8]
1.                   QS. Al-kahfi: 18

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ
 عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
18.  Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing Ashhabul Kahfi ketika mereka tertidur dalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selema mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim, tidak dengan fi’il. Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu itu.
2.                   QS. Al-hujurat: 15

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

15.  Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.
                        Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan.  Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan bagi orang yang keberadaannya senantiasa diliputi iman.
3.                  QS. Al Baqarah:177

 لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ
 وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ
 أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

177.  Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
                                Di dalam ayat di atas, pemenuhan janji, sabar, dan takwa diungkapkan dalam bentuk isim yang menunjukkan kelangsungan sifat tersebut pada pelakunya.

Sedangkan beberapa contoh redaksi ayat yang mneggunakan fi’il ialah sebagai berikut:
1.    QS. Al Baqarah: 274

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

274.  Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
       Kata yunfiqun pada ayat di atas menunjukkan keberadaannya sebagai suatu tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal.

2.    QS. Asy-syu’ara: 78-82

 الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ
 (81) وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ (82(

78.  (yaitu Tuhan) yang Telah menciptakan aku, Maka dialah yang menunjuki aku,
79.  Dan Tuhanku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku,
80.  Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku,
81.  Dan yang akan mematikan aku, Kemudian akan menghidupkan Aku (kembali),
82.  Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".
       Kata kerja khalaqa dalam ayat tersebut, menunjukkan telah terjadi, dan selesainya penciptaan pada waktu yang lampau. Sedang kata kerja yahdi dan lain-lain dalam rangkaian ayat di atas menunjukkan berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur hingga sekarang.

3.    QS. Fatir: 3

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
3.  Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?

     Isin khaliq dalam ayat tersebut menunjukkan sifat yang melekat secara permanen pada pelakunya. Sedangkan yarzuqukum menunjukkan pemberian rizki itu secara bertahap.




BAB III
KESIMPULAN

            Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il. Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti  tajadud (timbulnya sesuatu) dan huduts (temporal). Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Kegunaan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah dalam al-Qur’an mempunyai fungsi yang berbeda-beda seperti yang telah dijelaskan secara spesifik dalam pembahasan di atas.























DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattaan, Manna’ Khalil. Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor: 2009.
Baidan, Nashirudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2011.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. PT Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta: 1998.
Usman. Ilmu Tafsir. Teras. Yogyakarta: 2009.    


[1] Usman,Ilmu tafsir,( Yogyakarta: TERAS, 2009 ), hal. 240.
[2] Usman, Ilmu Tafsir, hal. 240.
[3] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,( yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998 ), hal. 157
[4] Mana Khaliil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, ter. Mudzakir AS( Bogor: PT Litera Antar Nusa, 2011 ), hal.291-292.
[5] Lihat Nasirudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 322-326
[6] Lihat Usman,Ilmu tafsir,( Yogyakarta: TERAS, 2009 ), hal. 256.
[7] Usman, Ilmu Tafsir, hal. 256-257.
[8] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,( yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998 ), hal.158-163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar